wahyu


widgets

Kamis, 28 Maret 2013

Anak-anak Bajang

Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) adalah kawasan wisata yang berada di tengah wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Secara administrasi, Dieng mencakup Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Kawasan ini berketinggian 2088 meter di atas permukaan laut. Sehingga tak heran, suhu kawasan tersebut cukup dingin, yaitu sekitar 10o-20o C. Bahkan pada musim kemarau, kawasan ini bisa mencapai 0o C pada pagi hari.
Nama Dieng memiliki sejarah tersendiri. Seperti yang penulis kutip dalam www.wisatamelayu.com,
“Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu di yang berarti gunung dan hyang dari kata khayangan, yang artinya tempat tinggal para dewa dan dewi. Bila digabungkan, nama dieng berarti pegunungan tempat tinggal para dewa dan dewi. Tapi ada sumber lain yang menyebutkan, Dieng berasal dari kata dalam bahasa Jawa, yaitu edi yang berarti indah/cantik dan aeng yang berarti aneh. Jadi dieng berarti tempat yang indah dan punya keanehan.”
       Dieng memang lebih terkenal akan wisata alamnya yang mempesona, seperti Candi Dieng, Telaga Warna, Kawah Canderadimuka. Namun ada satu kebudayaan yang tak kalah menarik di kawasan bersuhu dingin tersebut. Di kawasan Dieng, terkenal akan budaya pemotongan rambut gembel atau disebut upacara ruwatan. Bahkan budaya ini telah terkenal sampai ke mancanegara. Tak heran, jika di Dieng sedang melakukan ritual ini, banyak pengunjung datang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.


       Memang anak – anak asli Dieng mempunyai keunikan tersendiri. Sejak dilahirkan,  rambut mereka sudah gembel atau gimbal. Bahkan dalam matanews.com menyebutkan bahwa menurut pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono (60 tahun) meyakini anak-anak berambut gembel ini adalah anak bajang titipan Kyai Kolodete (tokoh yang dipercaya membuka kawasan dataran tinggi Dieng).
      Berdasarkan kepercayaan warga sekitar, rambut gimbal tersebut dapat membawa marabahaya atau membawa sial. Oleh karenanya, rambut gembel tersebut harus dipotong atau dicukur. Namun proses mencukurnya tidaklah mudah. Harus melalui ritual atau upacara adat yang biasa disebut upacara ruwatan. Konon, jika pencukuran rambut gembel dilaksanakan tanpa melalui proses upacara ruwatan, maka rambut gembel akan tumbuh kembali, namun jika melalui proses ruwatan, rambut gembel tidak akan tumbuh lagi sampai anak tersebut tumbuh dewasa. Ruwatan sendiri berasal dari kata ruwat  yang artinya membuang. Jadi diharapkan setelah ruwatan, bala yang dibawa anak tersebut hilang dan berbalik membawa rezeki.
      Waktu upacara itu sendiri dilakukan berdasarkan weton (hari kelahiran sang anak). Sedangkan pelaksanaan upacara dihitung berasarkan neptu (nilai kelahiran anak yang akan diruwat). Ritual ini harus dilakukan sesuai permintaan anak. Sehingga orang tua tidak memaksa si anak untuk mencukur rambut gembelnya sebelum si anak berkehendak. Selain itu upacara diadakan sesuai dengan kemampuan dana dari orang tua. Karena dana untuk ruwatan memang tidaklah sedikit. Hal ini dikarenakan, dalam upacara ruwatan, anak biasanya mengajukan suatu permintaan. Permintaan tersebut harus dipenuhi oleh orang tuanya, apabila tidak akan mendatangkan musibah.

Prosesi Ritual Ruwatan
      Dalam mengadakan upacara ruwatan ini juga diperlukan persiapan khusus seperti benda-benda sesaji. Sesaji yang digunakan meliputi tumpeng, ingkung ayam (ayam besar utuh), gunting, mangkuk dan air berisi bunga setaman, beras, 2 buah uang, payiung, jajanan pasar dan 15 jenis minuman, seperti kopi manis dan pahit, teh manis dan pahit, selasih, susu, jawawut serta permintaan anak yang diruwat.
      Acara dibuka dengan sambutan-sambutan oleh salah satu pelaksana upacara. Setelah sambutan – sambutan, anak yang akan dicukur dibawa ke sumur maerokoco di kompleks Candi Dieng.  Lalu dukun mulai memandikan anak berambut gembel dengan diiringi bebunyian gamelan. Air yang dipakai oleh sang dukun diambil dari mata air yang dianggap bertuah di Dataran Tinggi Dieng, yaitu di Sumur Maerokoco tersebut.
     Kemudian setelah dimandikan sesaji-sesaji pun disiapkan. Sesaji tersebut biasanya  memiliki arti tersendiri. Misalnya tumpeng nasi putih yang ditancapkan buah-buahan. Nasi putih menunjukkan kepala, sedangkan buah-buahan menunjukkan rambut gembelnya. Sesaji tersebut diletakkan di sekitar Candi Arjuna. Anak yang diruwat dibawa ke candi tersebut dengan cara digendong oleh orang tuanya.
Setelah segala sesaji untuk upacara telah lengkap semua maka sang dukun pun memanjatkan doa di sebuah kemenyan. Lalu dukun tersebut mengasapi kepala sang anak yang akan dicukur dengan asap kemenyan yang telah didoakan tadi. Selanjutnya barulah sang dukun memotong rambut gimbal anak tersebut. Proses mencukurnya yaitu dengan memasukkan cincin yang dianggap memiliki kekuatan magis ke tiap helai rambut gembel tersebut dan mencukurnya satu-satu. Setelah rambut gembel tersebut dipotong, rambut tersebut dibungkus dengan kain putih atau kain kafan. Selanjutnya dilarung atau dihanyutkan di Telaga Warna atau sungai-sungai yang ada di Dieng. Dengan dilarungnya rambut gimbal ke sungai atau ke Telaga Warna dengan, maka berakhirlah acara prosesi upacara ruwatan cukur rambut gimbal ini.
      Untuk lebih menarik wisatawan, ritual upacara pencukuran rabut gembel tersebut dikemas dalam Dieng Culture Festival. Pemerintah setempat, yaitu Dinas Pariwsata dan Budaya Kabupaten Banjarnegara yang  menggagas dan mengadakan event Dieng Culture Festival tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengenalkan kultur Dieng kepada masyarakat umum, baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun dalam Dieng Culture Festival tak hanya ritual pencukuran rambut gembel saja yang dipamerkan namun ada juga pameran produk-produk unggulan Dataran Tinggi Dieng, seperti kuliner dan kerajinan-kerajinan. Selain itu juga untuk lebih memeriahkan acara, diselenggarakn pula Pentas Seni dan Budaya. Dieng memiliki seni dan budaya yang khas Dieng serta khas Banjarnegara seperti tari topeng, rampak, warok, dan sebagainya.
      Dieng kini memang telah terkenal ke telinga para wisatawan. Tak jarang wisatawan menyempatkan berkunjung ke Dieng untuk melihat keajaiban – keajaiban alam di sana. Namun di sisi lain, Dieng Plateau memiliki warisan budaya yang tak ternilai harganya. Budaya tersebut tidaklah hanya disimpan, namun harus dijaga dan dilestarikan. Karena itu adalah warisan dari generasi kita yang memperindah kultur budaya di Indonesia. Alangkah lebih baiknya lagi apabila kita bisa membuat budaya tersebut sebagai suatu hal yang menarik dan memiliki nilai plus, yaitu menjadikannya obyek wisata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar